Trimester pertama bolehlah ikut aturan karena kondisi kehamilan masih oke, belum keliatan kaya kemana-mana bawa semangka. Trimester kedua, mulailah minum air putih berasa minum air comberan. Lidah dan perut cuma mau toleransi teh manis. Lainnya lupakan saja.
Suatu hari, ada yang berbaik hati sodorin bubble tea gratisan. Matilah, janinnya doyan. Kalau ga konsumsi itu sehari rasanya mulut asam ga karuan, macam perokok berat yang nggak kena rokok sebatang satu jam penuh. Repotnya, waktu itu bubble tea belum menjamur seperti sekarang. Outlet terbatas ada di Bintaro Plaza, Gunawarman, Bursa Efek Indonesia dan Kemang. Belum lagi kalau stok bubblenya lagi kosong, waduh! Ini namanya ngidam ngerepotin.
Karena ga tahan, apa mau dikata. Hampir setiap hari menghalalkan segala cara untuk beli minuman itu. Ga pake bohong kok sama suami. Kan dia ga nanya, jadi ya ga perlu dikasitau :) Tiap kontrol ke dokter, jantung mau copot rasanya menjelang saat-saat divonis perkiraan berat badan janin. Alhamdulillah sampai 9 bulan kehamilan, aman terkendali...
Satu pesan suami yang masih jelas ingat sampai sekarang, "jangan kebanyakan, nanti anaknya jumpalitan kaya bubble". Hati-hati, ternyata benar ucapan adalah doa. 2 tahun kemudian, memang si bocah jumpalitan adanya. Terharu kalau dia bisa duduk manis 5 menit. Tapi gada buktinya kan yah ini efek bubble tea?
Yang pasti, waktu itu pake alasan janinnya yang doyan ga sepenuhnya salah. Soalnya, anak ini emang doyan banget sama bubble tea. Setiap beli pasti pake drama rebutan. Kalau lagi nyeruput dan kedapatan bubblenya, mukanya girang geli-geli sendiri. Oh (bubble) boy!
No comments:
Post a Comment